Tahun 2014. Aku merasa diriku telah
dewasa. Sehingga aku harus mampu memutuskan masa depanku. Sudah beberapa hari
aku kepikiran tentang diriku sendiri. Kemanakah dan apakah yang harus aku
lakukan setelah aku lulus. Apa hanya dirumah, bekerja ditoko, atau kuliah. Kuliah adalah hal yang sangat aku inginkan,
namun orang tuaku yang sempat mengatakan “setahun lagi kuliahnya, biarkan mbak
mu semester 5 dulu. Bapak masih belum punya uang kalau menguliahkan dua orang
yang jaraknya sangat dekat”. Kalimat itu hanya mampu aku dengar dan tak sanggup
aku menjawab sepatah katapun. Tersayat hati ini rasanya. Dengan segenap kemauan
yang tinggi aku mencoba mencari jalan lain untuk tetap bisa kuliah. Berusaha
mencari beasiswa bidikmisi lewat SNMPTN yang pendaftarannya aku isi sebelum UAN.
Jalan lain yang harus aku lakukan aku kerja. Berusaha mencari informasi kesana-kesini.
Tanya teman-teman hingga akhirnya aku mendapat tawaran kerja di sebuah toko.
UAN telah selalesai. Rencana yang
telah aku rencanakan akan kumulai esok hari.
Pagi itu tiba-tiba hp berdering. Dengan berat ku buka mata dan kubaca
pesan dari sahabatku “fit nanti berangkatnya bersama-sama aku tunggu dirumahku
ya jam 6”, segeralah ku balas sms itu. “oke”. Masih terasa sisa-sisa ketegangan UAN kemarin.
Baru saja kemarin aku selesai mengerjakan soal-soal UAN yang sangat sulit
bagiku. Tapi hari ini berbeda cerita. Secepat mungkin aku ke kamar mandi,
sholat lalu kusiapkan beberapa potong pakaian dan perlengkapan yang harus aku bawa ke tempat kerja. Hampir
jam 6 pagi, segera akau berpamitan dengan orang tuaku. Kutatap wajah bapakku.
Aku tahu bahwa beliau tidak tega membiarkanku kerja dan harus menginap disana.
Air mata ini rasanya ingin menetes. Aku mencoba untuk tetap senyum. Aku harus
kuat, tidak boleh membuat mereka kuatir. Ini semua agar aku bisa kuliah dan
kesuksesanku kelak untuk mereka. Itu yang aku pegang selama ini.
Segeralah aku berangkat diantar
kakakku. Dirumah sahabatku aku berpamitan dengan orang tuanya. Kami segera
meninggalkan rumah itu. Dengan segala keberanian, aku masuk kerumah calon bosku
untuk mendengarkan berbagai peraturan. Sungguh, kesan pertamaku terhadap beliau
adalah beliau sangat sabar dan baik hati. Beliau begitu welcome dengan
kedatangan kami. Sesaat kemudian beliau menyuruhku untuk ke kamar dan bersiap
untuk kerja dan beliau pergi. Segera kuhampiri kakakku yang saat itu tidak
menemaniku masuk. Kusuruh dia pulang. “Ati-ati ya nduk. Tenan pengen kerja?”
kata yang keluar dari mulutnya yang kembali membuat air mataku hampir tumpah
untuk kedua kalinya di pagi ini. Hanya senyuman yang mampu aku berikan.
Spidol dan kater segera disodorkan
oleh salah satu karyawan disana. Ternyata aku diperkerjakan di bagian gudang.
Terasa mudah pekerjaan ini. Waktu segera berganti. Malam pun menghampiri.
Inilah rasanya kerja. Aku kira aku tidur dikasur. 2 orang untuk 1 kamar. Tapi tidak
seperti itu kenyataannya. Aku harus tidur di tikar dengan jumlah karyawan 6
untuk satu kamar atau bisa lebih. Ini tak menjadi masalah bagiku. Aku bukan
anak manja. Bukan kali pertamanya aku tidur di tikar. Malam itu tiba-tiba aku
ingin menangis, segera aku pergi keluar kamar untuk mencari tempat sepi. Air
mata sudah tidak bisa kubendung lagi. Aku kangan dengan ibu bapak. Tapi aku
tidak mungkin pulang. Segera ku hapus air mata ini. Segera ku masuk ke kamar
dan berusaha menutup mata ini. Karna esok harus bekerja.
Malam begitu singkat. Adzan subuh
telah berkumandang. Mata ini masih ingin rasanya terlelap kembali tapi apa daya
tanggung jawab harus kulaksanakan. Begitulah hari-hari yang kujalani selama di
tempat kerja. Aku menangis beberapa malam hingga bingung bagaimana menghentikan
tangisan ini. Hingga suatu hari beberapa karyawan baru masuk ke tempat kerja. Mereka
menjadi temanku di tempat kerja. Kekompakan kami membuatku betah hingga aku
lupa menangis malam hari.
Waktu cepat berlalu. Kegokilan yang kita buat
menjadi cerita unik di antara kita. Hingga suatu saat aku dipindah ke toko yang
tempatnya jauh. Aku seorang diri dari beberapa temanku. Bingung dan takut mulai
menghampiri. Dengan siapakah akau disana. Aku tidak kenal siapa-siapa disana.
Hingga akhirnya aku berusaha berkenalan agar mendapat teman. Entah, rasanya
tidak nyaman. Pekerjaan yang semakin berat membuatku tidak betah disana. Jam
delapan pagi hingga delapan malam aku harus berdiri tidak boleh
duduk kecuali jam istirahat dan solat. Kaki ini terasa sangat sakit. Ditambah
dengan teman-teman yang kurang bersahabat. Air mata ini kembali menetes.
Berulang kali aku menyeka air mata ini. Aku tidak boleh cengeng. Kataku dalam
hati. Aku berusaha kuat. Tapi aku kalah dengan keadaan.
Dengan keberanian yang aku miliki
kutulis pesan singkat lalu kukirim
kepada bosku. Aku meminta agar akau dipekerjakan di gudang meski harus
angkat-angkat barang yang berat. Saat itu aku berfikir bosku orang baik. Tapi
ternyata semua itu menjadi masalah. Makanan yang saat itu harusnya nikmat dan
mengenyangkan perutku terasa hambar karna tiba-tiba koordinator di toko itu
menegurku ketika jam makan. Bos telah marah. Aku mulai bingung. Ditambah
peneguran itu di depan karyawan lain aku malu sangat malu. Sambil mencuci
piring aku berusaha untuk menyeka air mata. Duh Gusti seperti inikah dunia
kerja. Aku ingin pulang ketemu bapak ibu. Aku tidak sanggup menjawab peneguran
itu. Diam. Itu yang bisa aku lakukan.
Pagi telah datang. Mobil bosku
sudah parkir didepan toko siap untuk untuk menjemputku. Was-was menguasi diri
ini. Apa yang akan terjadi nanti. Bagaimana jika aku berhadapan dengan bosku.
Sepanjang jalan rasa takut menyelimuti diri ini. Tuhan bantulah aku. Doa terus
kupanjatkan agar aku tanang. Gudang baju itu terasa seperti neraga bagiku. Siap
menghukumku karena salahku. Sedikit tenang karena tak terlihat sosok bosku
disana. Tapi aku salah, tiba-tiba aku dipanggil. Di depan karyawan lain aku di
tegur. Sedikit bentakan terlontar dari bosku. Apa yang harus kukatakan. Diam
lagi dan terus diam. Kepolosan ini membuatku semakin menderita. Kenapa hanya
diam? Aku menyalahkan diriku sendiri. Penderitaan ini tak berakhir disini. Esok
hari aku bekerja lagi. Karyawan yang sudah dianggap tetua disana menyuruhku
bekerja dibagian pembuatan mahar pernikahan. Aku berusaha bangkit kembali.
Berusaha bekerja sebaik-baiknya. Aku menjadi seperti pembantu disuruh ini itu
aku berangkat. Karna aku sadar aku telah melakukan bayak kesalahan. Tapi hari
itu aku benar-benar tidak menyangka. Bosku datang dengan anaknya. Anaknya yang
cantik menyapaku dengan senyum “wah ada karyawan baru”. Dengan senyumam aku
menyapanya. Senyuman yang tersungging di bibirku berubah menjadi kesedihan yang
amat sakit. Bosku yang sungguh tega melontarkan kata-kata yang tak pantas
diucapkan beliau. “oalah sampean ki milih pekerjaan sing penak to” dan masih
banyak kata-kata lain. Malu sekali rasanaya. Di depan banyak karyawan aku hanya
bisa tertunduk malu dan diam tanpa keluar sepatah katapun dari mulutku. Tubuh
ini rasanya seperti melayang. Temanku yang tahu perihal kebenarannya tak berani
membelaku. Aku sudah tak sanggup lagi. Aku sudah tidak dihargai disini. Untuk
apalagi aku bertahan disini. Keputusan segera kubuat. Kuputuskan untuk mengirim
pesan singkat pada bapakku.. “pak mbenjing jengengan jemput jam delapan
enjing”. Sesaat kemudian balasan dari bapakku masuk “iya”. Balasan sms itu
membuatku marasa bebas. Malam itu tidurku terasa nyenyak. Esok pagi aku pamitan
dengan bosku dengan alasan bahwa aku akan kuliah. Walau tak diberi uang
pesangon tak masalah bagiku. Yang penting aku bisa keluar dari tempat
mengerikan ini.
Udara pagi itu terasa sangat segar.
Tidak seperti biasanya mungkin itu hanya perasaanku saja. Tapi benar-benar
segar. Perut yang masih kosong terisi dengan sate dan gule yang sangat nikmat.
Entah kenapa bapakku memberhentikan motonya di warung makan. Sedikit rasa takut
dalam hati jangan-jangan bapak ku khawatir. Saat itu tubuhku memang kurus kering
dan wajah ini sangat pucat. Aku tidak berani cerita bagaimana sulitnya makan
disana. Tiap hari makan dengan nasi yang masih mentah. Sayur yang sudah kemaren
dan lauk krupuk. Tiap hari seperti itu. Makan pun selalu sedikit. Apa yang aku
alami menjadi pelajaran untukku. Uang tidak semudah itu dicari jadi tak boleh
seenaknya minta orang tua apalagi uangnya dipergunakan untuk hal yang tidak
penting. Masa-masa itu selalu aku ingat sebagai pelajaran untuk hidupku.
Untuk
orang tuaku yang tercinta
Maaf
karna aku masih menjadi bebanmu
Maaf
keputusanku untuk kuliah menjadi beban besar untukmu
Maaf
karna aku egois memaksakan kehendakku
Jujur
sekarang aku menyesal setiap melihat engkau bekerja seharian
Tidurpun
hanya beberapa jam
Tak
sanggup aku melihatmu
Doa
selalu kupanjatkan untukmu
Menetes
air mata ini setiap mengingat mu
Aku
akan berusaha sebaik-baiknya disini
Hanya
untukmu…………….
Mari terus memperbaiki diri demi mereka yang menyayangi kita. Tulisan ini adalah hasil refleksi diri, bahwa mencari uang bukanlah pekerjaan mudah. Teruntuk itu kita perlu mempergunakan uang pemberian orang tua dengan sangat bijak. Terima kasih.
BalasHapusM-8 titanium connecting rod - TITIAN ART
BalasHapusM-8 titanium connecting rod - TITIAN titanium trim as seen on tv ART M-8 is a chrome finished 2019 ford edge titanium for sale piece womens titanium wedding bands manufactured for corrosion resistant steel rods. It titanium tent stakes has an titanium jewelry for piercings outer plate